Ketertinggalan di berbagai bidang di era globalisasi dibandingkan
negara-negara tetangga rupanya menyebabkan pemerintah terdorong untuk
memacu diri untuk memiliki standar internasional. Sektor pendidikan
termasuk yang didorong untuk berstandar internasional. Dorongan itu
bahkan dicantumkan di dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
pasal 50 ayat (3) yang berbunyi, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah
menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua
jenjang pendidikan, untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang
bertaraf internasional. “.
Dengan berbekal keinginan kuat dan ayat itu maka Depdiknas segera
mengeluarkan program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang proyek
rintisannya saja telah menyertakan ratusan SMP dan SMA di hampir semua
Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia dengan menggelontorkan dana ratusan
milyar meski peraturan pemerintah yang mengatur pengelolaan seperti itu
belum ada. Ini proyek prestisius karena akan dibiayai oleh Pemerintah
Pusat 50%, Pemerintah Propinsi 30 %, dan Pemerintah Kabupaten/Kota 20%.
Padahal, untuk setiap sekolahnya saja Pemerintah Pusat mengeluarkan 300
juta rupiah setiap tahun paling tidak selama 3 (tiga) tahun dalam masa
rintisan tersebut. Siapa saja yang nantinya akan masuk ke sekolah SBI
ini? Siswa yang bisa masuk ke sekolah tersebut, adalah mereka yang
dianggap sebagai bibit-bibit unggul yang telah diseleksi ketat dan yang
akan diperlakukan secara khusus. Jumlah siswa di kelas akan dibatasi
antara 24-30 per kelas. Kegiatan belajar mengajarnya akan menggunakan
bilingual. Pada tahun pertama bahasa pengantar yang digunakan 25 persen
bahasa Inggris 75 persen bahasa Indonesia. Pada tahun kedua bahasa
pengantarnya masing-masing 50 persen untuk Inggris dan Indonesia. Pada
tahun ketiga bahasa pengantar menggunakan 75 persen bahasa Inggris dan
25 persen bahasa Indonesia. Karena dianggap sebagai bibit unggul maka
siswa diprioritaskan untuk belajar ilmu eksakta dan teknologi informasi
dan komunikasi (ICT/Information and Communication Technology).
Karenanya, siswa kelas khusus ini diberi fasilitas belajar tambahan
berupa komputer dengan sambungan internet. Apa kurikulum yang akan
diberikan kepada mereka agar ‘berstandar internasional’? Tidak jelas
betul karena hanya disebutkan rumusnya adalah SNP + X. SNP adalah
Standar Nasional Pendidikan sedangkan X hanya disebutkan sebagai
penguatan, pengayaan, pengembangan, perluasan, pendalaman, melalui
adaptasi atau adopsi terhadap standar pendidikan baik dari dalam negeri
maupun luar negeri yang diyakini telah memiliki reputasi mutu yang
diakui secara internasional umpamanya Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO,
UNESCO. Berapa dana yang harus dikeluarkan oleh orang tua yang ‘ngebet’
dengan program ini? Masih akan diatur. Tapi yang jelas orang tua harus
merogoh koceknya dalam-dalam dan hanya orang tua yang kaya saja yang
bisa masuk. Ini adalah program prestisius sehingga biayanya memang
harus mahal!
Tapi apakah SBI ini akan membuat kita akan dapat membuat bangsa kita
mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara-negara lain? Tunggu
dulu. Jika kita cermati ternyata program SBI ini mengandung banyak
kekurangan mencolok. Alih-alih menghasilkan kualitas bertaraf
internasional kualitas pendidikan kita justru akan terjun bebas.
Mengapa? Ada beberapa kelemahan mendasar dari program SBI ini.
Pertama, program ini nampaknya tidak didahului dengan riset yang
mendalam dan konsepnya lemah. Dengan menyatakan bahwa SBI = SNP + X,
maka sebenarnya konsep SBI ini tidak memiliki bentuk dan arah yang
jelas. Tidak jelas apa yang diperkuat, diperkaya, dikembangkan,
diperdalam, dll tersebut. Jika konsep ini secara jelas menyatakan
mengadopsi atau mengadaptasi standar pendidikan internasional seperti
Cambridge IGCSE atau IB, umpamanya, maka akan lebih jelas kemana arah
dari program ini. Dengan memasukkan TOEFL/TOEIC, ISO dan UNESCO sebagai
“X” juga menunjukkan bahwa Dikdasmen juga tidak begitu paham dengan apa
yang ia maksud dengan “X” tersebut. Atau mungkin ini sebuah strategi
agar target yang hendak dikejar menjadi longgar dan sulit untuk diukur?
Sekolah-sekolah yang mengadopsi atau berkiblat pada standar
internasional seperti Cambridge atau International Baccalaureate (IB)
adalah sekolah-sekolah yang memang dirancang untuk mempersiapkan
siswa-siswa mereka agar dapat melanjutkan ke luar negeri. Dengan sistem
kurikulum tersebut siswa mereka memang dipersiapkan untuk dapat belajar
di luar negeri. Mereka bahkan tidak perlu mengikuti Ujian Nasional
karena mereka memang tidak berencana untuk meneruskan pendidikan mereka
di universitas di Indonesia. Nah, dengan demikian, apakah sebenarnya
yang hendak dituju dengan program SBI ini? Jika yang hendak dituju
adalah peningkatan kualitas pembelajaran dan output pendidikan maka
mengadopsi IB ataupun mengikutsertakan siswa dalam ujian Cambridge
bukanlah jawabannya. Ujian Cambridge diperuntukkan bagi siswa yang
ingin melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Meski demikian nilai
yang tinggi dalam ujian Cambridge juga bukan jaminan bahwa siswa dapat
diterima di perguruan tinggi di luar negeri. Nilai ujian Cambridge
hanya akan memudahkan siswa untuk dapat diterima di perti LN karena
nilai ujian Cambridge diakui oleh beberapa negara. Permasalahannya
adalah berapa banyak dari siswa kita sebenarnya yang ingin melanjutkan
pendidikannya ke luar negeri? Berapa persenkah dari lulusan sekolah
publik kita yang benar-benar ingin dan mampu, baik secara finansial
maupun intelektual, untuk melanjutkan studinya ke luar negeri? Jika
Depdiknas tidak memiliki data statistik tentang hal ini mengapa
tiba-tiba timbul kebijakan untuk mengubah sekolah-sekolah kita menjadi
SBI yang berkiblat pada Cambridge? Bukankah ini suatu pengorbanan yang
sangat sia-sia yang bakal menelantarkan siswa-siswa lain yang tidak
akan melanjutkan pendidikannya ke luar negeri? Untuk apa kita
mengerahkan seluruh energi dan kapasitas kita membawa siswa menuju ke
sistem Cambridge,umpamanya, jika sebenarnya tujuan yang hendak dituju
bukanlah kesana? Ini adalah contoh tujuan pendidikan yang sangat
misleading. Jelas sekali bahwa tidak mungkin sekolah harus mengikuti
dua kiblat, yaitu UNAS dan Cambridge umpamanya, karena akan sangat
menyulitkan bagi sekolah maupun murid untuk mengikuti dua kiblat
tersebut. Beberapa sekolah National Plus yang selama ini memang
dirancang untuk mengikuti dua kiblat tersebut mengakui bahwa sangat
sulit bagi mereka untuk mengikuti dua kiblat tersebut sekaligus.
Kedua, Dikdasmen membuat rumusan 4 model pembinaan SBI tersebut
yaitu : (1) Model Sekolah Baru (Newly Developed), (2) Model
Pengembangan pada Sekolah yang Telah Ada (Existing School), (3) Model
Terpadu, dan (4) Model Kemitraan. Padahal kalau dilihat sebenarnya
hanya ada dua model yaitu Model (1) Model Sekolah Baru dan Model (2)
Model Sekolah yang Telah Ada. Dua lainnya hanyalah teknis
pelaksanaannya saja. Dari dua model tersebut Dikdasmen sebenarnya hanya
melakukan satu model rintisan yaitu Model (2) Model Pengembangan pada
Sekolah yang Telah Ada (existing School) dan tidak memiliki atau
berusaha untuk membuat model (1) Model Sekolah Baru. Anehnya, buku
Panduan Penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
yang dikeluarkan sebenarnya lebih mengacu pada Model (1) padahal yang
dikembangkan saat ini semua adalah Model (2). Jelas bahwa sekolah yang
ada tidak akan mungkin bisa memenuhi kriteria untuk menjadi sekolah SBI
karena acuan yang dikeluarkan sebenarnya ditujukan bagi pendirian
sekolah baru atau Model (1). Sebagai contoh, jika sekolah yang ada
sekarang ini diminta untuk memiliki guru berkategori hard science
seperti Matematika, Fisika, Kimia, Biologi (dan nantinya diharapkan
kategori soft science-nya juga menyusul) menggunakan bahasa Inggris
sebagai bahasa pengantar, atau memiliki tanah dengan luas minimal
15.000 m, dll persyaratan seperti dalam buku Panduan, maka jelas itu
tidak akan mungkin dapat dipenuhi oleh sekolah yang ada. Ini ibarat
meminta kereta api untuk berjalan di jalan tol!
Sebagai ilustrasi, sedangkan guru bahasa Inggris di sekolah-sekolah
‘favorit’ kita saja hanya sedikit yang memiliki TOEFL > 500, apalagi
jika itu dipersyaratkan bagi guru-guru mata pelajaran hard science.
Maka itu jelas tidak mungkin. Ini berarti Dikdasmen tidak mampu untuk
menerjemahkan model yang ditetapkannya sendiri sehingga membuat
Dikdasmen berresiko gagal total dalam mencapai tujuannya.
Ketiga, konsep ini berangkat dari asumsi yang salah tentang
penguasaan bhs Inggris sebagai bahasa pengantar dan hubungannya dengan
nilai TOEFL. Penggagas mengasumsikan bahwa untuk dapat mengajar hard
science dalam pengantar bahasa Inggris maka guru harus memiliki
TOEFL> 500. Padahal tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dengan
kemampuan mengajar hard science dalam bhs Inggris. Skor TOEFL yang
tinggi belum menjamin kefasihan dan kemampuan orang dalam menyampaikan
gagasan dalam bahasa Inggris. Banyak orang yang memiliki nilai
TOEFL<500 yang lebih fasih berbahasa Inggris dibandingkan orang yang
memiliki nilai TOEFL > 500 . Singkatnya, menjadikan nilai TOEFL
sebagai patokan keberhasilan pengajaran hard science bertaraf
internasional adalah asumsi yang keliru. TOEFL lebih cenderung mengukur
kompetensi seseorang, padahal yang dibutuhkan guru sekolah bilingual
adalah performance- nya, dan performance ini banyak dipengaruhi
faktor-faktor non-linguistic. TOEFL bukanlah ukuran kompetensi
pedagogic.
Keempat, penyusun konsep ini nampaknya juga tidak paham bahwa tidak
semua orang (terutama guru PNS!) bisa ‘dijadikan’ fasih berbahasa
Inggris (apalagi mengajar dengan menggunakan bahasa Inggris) meskipun
orang tersebut diminta untuk tinggal dan hidup di negara yang
menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari. Sebagai
ilustrasi, bahkan masih banyak guru kita di pelbagai daerah yang belum
mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan fasih dalam mengajar!
Sebagian dari guru kita di tanah air ini masih menggunakan bahasa
daerahnya dalam mengajar meski tinggal dan hidup di lingkungan yang
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Hal ini
menunjukkan bahwa adalah tidak mungkin ‘menyulap’ para guru hard
science agar dapat fasih berbahasa Inggris (apalagi memperoleh nilai
TOEFL>500 seperti persyaratan dalam buku Panduan Penyelenggaran
Rintisan SBI tersebut) meski mereka dikursuskan di sekolah bahasa
Inggris terbaik.
Kelima, dengan penekanan pada penggunaan bahasa Inggris sebagai
medium of instruction di kelas oleh guru-guru yang baik kemampuan
penguasaan materi, pedagogi, apalagi masih struggling in English jelas
akan membuat proses KBM menjadi kacau balau. Program ini jelas
merupakan eksperimen yang berresiko tinggi yang belum pernah diteliti
dan dikaji secara mendalam dampaknya tapi sudah dilakukan di ratusan
sekolah yang sebetulnya merupakan sekolah-sekolah berstandar “A”. Tidak
perlu terlalu cerdas untuk melihat betapa beresikonya program ini.
Ratusan sekolah-sekolah berstatus Mandiri yang diikutkan program ini
berresiko besar untuk mengalami kekacauan dalam proses KBM-nya.
Berharap target yang tinggi dari guru yang tidak kompeten (atau
kompetensinya merosot karena harus menggunakan bahasa asing) adalah
kesalahan yang sangat fatal. Resiko kegagalannya sangat besar untuk
ditanggung. Program SBI ini bakal menghancurkan best practices dalam
proses KBM yang selama ini telah dimiliki oleh sekolah-sekolah Mandiri
yang dianggap telah mencapai standar SNP tersebut.
Keenam, kritik paling mendasar barangkali adalah kesalahan asumsi
dari penggagas sekolah ini bahwa Sekolah BERTARAF internasional itu
harus diajarkan dalam bhs asing (Inggris khususnya) dengan menggunakan
media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD .
Padahal negara-negara maju seperti Jepang, Perancis, Finlandia, Jerman,
Korea, Italia, dll. tidak perlu menggunakan bahasa Inggris sebagai
bahasa pengantar jika ingin menjadikan sekolah mereka BERTARAF
internasional. Sekolah kita pun sebenarnya tidak perlu harus
mengajarkan materi hard science dalam bhs Inggris supaya dapat dianggap
bertaraf internasional. Kurikulumnyalah yang harus bertaraf
internasional atau dalam kata lain tidak dibawah kualitas kurikulum
negara lain yang sudah maju. Jadi fokus kita adalah pada penguatan
kurikulumnya. Penguatan kemampuan berbahasa Inggris bertaraf
internasional bisa dilakukan secara simultan dengan memberi pelatihan
terus menerus kepada guru-guru bhs Inggris yang mempunyai beban untuk
meingkatkan kompetensi siswa dalam berbahasa Inggris. Selama ini
siswa-siswa kita yang melanjutkan pendidikannya di luar negeri tidak
pernah diminta untuk mempunyai persyaratan berstandar Cambridge,
umpamanya. Jika mereka memiliki tingkat penguasaan yang tinggi dalam
bidang studi dan mereka mampu memiliki kompetensi berbahasa Inggris
yang baik maka mereka selalu bisa masuk ke perti di luar negeri.
Bukankah selama ini mereka tidak pernah ditest masuk dengan menggunakan
materi Matematika, Fisika, kimia, Biologi, dll dalam bhs Inggris?
Lantas mengapa mereka harus dilatih sejak awal untuk memahami materi
bidang studi tersebut dalam bhs Inggris (oleh guru yang tidak memiliki
kompetensi memadai untuk itu)? Cara yang lebih mudah sebenarnya adalah
mengadopsi GCSE sebagai ujian bagi siswa-yang berkeinginan untuk
melanjutkan pendidikannya ke luar negeri tanpa harus mengorbankan
begitu banyak sistem yang telah berlaku. Penekanan pada penggunaan
piranti media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan
VCD juga menyesatkan seolah tanpa itu maka sebuah sekolah tidak bisa
bertaraf internasional. Sebagian besar sekolah hebat di Amerika masih
menggunakan kapur dan tidak mensyaratkan media pendidikan mutakhir dan
canggih seperti laptop, LCD, dan VCD sebagai prasyarat kualitas
pendidikan mereka. Program ini nampaknya lebih mementingkan alat
ketimbang proses. Padahal pendidikan adalah lebih ke masalah proses
ketimbang alat.
Ketujuh, kesalahan mendasar lain adalah asumsi dan anggapan bahwa
Sekolah Bertaraf Internasional hanyalah bagi siswa yang memiliki
standar kecerdasan tertentu. Kurikulum yang bertaraf internasional
dianggap tidak bisa diterapkan pada siswa yang memiliki tingkat
kecerdasan rata-rata. Ini juga mengasumsikan bahwa SNP (Standar
Nasional Pendidikan) hanyalah bagi mereka yang memiliki tingkat
kecerdasan ‘rata-rata’. Ini adalah asumsi yang berbahaya dan secara
tidak sadar telah ‘mengkhianati’ SNP itu sendiri karena menganggapnya
sebagai ‘tidak layak’ bagi siswa-siswa cerdas Indonesia. Lantas untuk
apa Standar Nasional Pendidikan jika dianggap belum mampu untuk
memberikan kualitas yang setara dengan standar internasional? Ini juga
paham yang diskriminatif dan eksklusif dalam pendidikan dan menganggap
kecerdasan intelektual yang menonjol merupakan segala-galanya sehingga
perlu mendapat perhatian dan fasilitas lebih daripada siswa yang tidak
memilikinya.
Kedelapan, dengan program SBI ini Depdiknas memberikan persepsi yang
keliru kepada para orang tua, siswa, dan masyarakat bahwa
sekolah-sekolah yang ditunjuknya menjadi sekolah Rintisan tersebut
adalah sekolah yang ‘akan’ menjadi Sekolah Bertaraf Internasional
dengan berbagai kelebihannya. Padahal kemungkinan tersebut tidak akan
dapat dicapai atau bahkan akan menghancurkan kualitas sekolah yang ada.
Dan ini adalah sama dengan menanam “bom waktu’. Banyak sekolah yang
jelas-jelas hendak memberi persepsi kepada masyarakat bahwa sekolah
mereka telah menjadi Sekolah Bertaraf Internasional dan bukan sekedar
‘rintisan’ lagi. Suatu usaha pembodohan dan pengelabuan dari sekolah
kepada masyarakat.
Kembali pada pertanyaan filosofis, apa sebenarnya yang hendak dituju
dengan program SBI ini? Jika yang hendak dituju adalah peningkatan
kualitas pembelajaran dan output pendidikan maka mengadopsi atau
berkiblat pada sistem ujian Cambridge ataupun IB bukanlah jawabannya.
Bahkan sebenarnya menggerakkan semua potensi terbaik pendidikan di
Indonesia untuk berkiblat ke sistem Cambridge adalah sebuah
pengkhianatan terhadap tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Di
negara-negara maju seperti Singapura, Australia dan New Zealand,
pemerintah tidak membiarkan sistem pendidikan luar ataupun
internasional macam Cambridge ataupun IB masuk dan digunakan dalam
kurikulum sekolah mereka. Hanya sekolah yang benar-benar berstatus
International School dengan siswa asing saja yang boleh mengadopsi
system pendidikan lain. Sedangkan semua sekolah harus menggunakan
kurikulum dan system pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah karena
mereka berpendapat bahwa pendidikan dirancang untuk mempersiapkan siswa
untuk berbakti kepada negara dan berpedoman atau berkiblat pada system
yang tidak dirancang untuk kepentingan bangsa dan negara adalah
bertentangan dengan filosofi pendidikan mereka.
Mengingat betapa banyaknya kelemahan yang ada dari program
prestisius ini dan besarnya resiko gagal yang dihadapinya, sudah
selayaknya Depdiknas mengevaluasi diri dengan lebih membuka diri
terhadap masukan dari masyarakat. Lebih baik mundur satu langkah
ketimbang harus mengalami kegagalan total yang sudah nampak di depan
mata tersebut. Mungkin formulasi kebijakan di Depdiknas (dalam hal
seperti SBI ini) perlu melalui proses konsultasi pada publik atau
stakeholders berkali-kali dan studi yang lebih mendalam dengan
melibatkan lebih banyak publik, dan tidak sekedar memenuhi syarat
minimal birokrasi. Perlu diingat bahwa masyarakatlah yang membiayai dan
yang akan menjadi end-user dari produk ini.
Lantas bagaimana dengan UU Sisdiknas pasal 50 ayat (3) yang telah
‘terlanjur’ dipersepsikan harus mengadopsi kurikulum Cambridge dan IB
tersebut? Ada dua alternatif untuk itu. Pertama, pasal tersebut perlu
diamandemen dan disesuaikan bunyinya agar tidak menimbulkan persepsi
yang keliru, atau, kedua, merumuskan kembali apa yang disebut dengan
‘satuan pendidikan bertaraf internasional’ tersebut. Apa yang telah
dilakukan oleh Depdiknas dengan program SBI ini harus dihentikan dan
dirumuskan ulang. Jika tidak maka arah pendidikan nasonal kita akan
semakin melenceng dari tujuan dan amanah bangsa dan negara kita.
Bekasi, 22 Agustus 2009
By. INFINITY EIGHT
Staf Administration Of Employment
sebenarnya SBI itu baik, untuk mengakomodasi siswa-siswa yang memiliki kelebihan finansial dan kognitif. Intinya saya mendukung. akan tetapi, pengolahan SBI hendaknya disesuaikan dengan standar yang ada. harus ada kurikulum internasional, intinya standar minimal SBI harus dipenuhi. Selain itu, SBI hendaknya diarahkan ke kelas internasional karena saya yakin dalam satu sekolah lebih banyak siswa yang tidak ingin bersekolah di luar negeri dibanding yang ingin. tidak boleh yang minoritas mengalahkan yang mayoritas. itu yang harus dipegang. trims.
menurut saya wacana ini akan membuka pikiran siapa pun yang membacanya yang selama ini menganggap bahwa semua yang berbau internasional adalah hebat.padahal setelah membaca ini semua kita tersadar dan terbangun bahwa harapan sebagian orang tua yang ingin menyekolahkan putra-putrinya ke-SBI harus berpikir dua kali. saya acungi 4 jempol untuk INFINITY EIGHT. thanks ya! atas infonya ^_^